Sebuah buku yang ditulis oleh seorang guru
yang mengajar di sebuah sekolah nonformal, mas Anggo Marantika. Rasanya tidak
ada yang perlu dikomentari dari buku ini. Buku ini sudah menyajikan paket
lengkap; kisah-kisah yang diceritakan dengan diksi yang sangat menarik, refleksi,
renungan, pesan moral yang bisa kita petik dari kisah-kisah yang ada, sekaligus
metode parenting yang sangat laik dibaca oleh semua kalangan. Sebenarnya
aku cukup bingung juga apa yang hendak aku tuliskan, namun aku teramat ingin
membuat sebuah tulisan mengenai buku ini.
Kalau begitu, mungkin aku akan mencoba sedikit mengulas kembali pesan-pesan yang dapat diambil dari kisah-kisah di buku Pelangi yang Terabaikan ini. Buku ini menceritakan kisah 7 siswa istimewa yang dikesampingkan dari dunia pendidikan karena sedikit perbedaan yang mereka miliki. Perbedaan bukanlah hal yang buruk, bagaimana pun kita diciptakan Tuhan berbeda-beda. Dalam perbedaan itu pulalah kita menemukan hal yang spesial.
Sebagai seorang pendidik, bagi mas Anggo mengajar bukanlah sekadar perkara asal materi sampe ke murid. Namun memahami masing-masing pribadi siswa, tantangan yang berbeda-beda yang dimiliki oleh setiap siswa, persoalan yang muncul yang dapat menghambat proses pengembangan diri mereka, hingga membuat teknik pengajaran yang sesuai bagi setiap siswa adalah hal-hal yang juga selalu menjadi fokus yang diperhatikan oleh mas Anggo. Sebenarnya aku adalah salah satu siswa yang pernah diajar oleh mas Anggo. Aku masih ingat pertama kali aku seharusnya masuk ke kelas mas Anggo. Aku menangis, tak ingin masuk kelas, dan takut untuk memulai belajar. Akhirnya aku kembali pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku mengirim pesan kepada mas Anggo dan meminta maaf. Tidak seperti respon yang kubayangkan, ini berbeda sama sekali dengan apa yang kukhawatirkan. Bukannya memberi semacam nasihat padaku tetapi mas Anggo membalas, “it’s okay, yang penting tenang dulu ya nak.” Berbekal kata-kata itu aku membangun keberanianku dan minggu depannya akhirnya aku masuk kelas. Tahun-tahun bersama mas Anggo dan guru-guruku yang lain terasa berbeda. Guru benar-benar teman. Kita bebas berbagi candaan, tangisan, sambatan, dan hal-hal yang sebelumnya tak biasa bahkan mungkin tak pernah sama sekali kualami.
Teruntuk mas Anggo, terima kasih banyak atas segalanya. Maaf aku belum bisa menjadi murid yang baik, aku bahkan tidak tahu apa yang benar-benar kusukai dan apa yang ingin kuraih. Tidak ada guru yang gagal, yang ada hanyalah murid yang malas (kalimat yang pernah kubaca di suatu tempat).
Kembali lagi kepada Pelangi yang Terabaikan.
1). The Broken Lara: Bullying, dalam bentuk apapun bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan. Bahkan sekecil apapun “candaan”, itu mampu mengubah keriaan dalam jiwa seseorang menjadi awan kelabu yang tak pernah pergi. Mungkin kamu akan meremehkan dan melupakannya, tapi orang yang kamu tindas tidak akan pernah lupa. Di sekolah lama, Lara terbiasa mendengar ucapan-ucapan yang tak pantas dari teman-teman bahkan gurunya. Kata-kata itu merampas kepercayaan dirinya dan mematahkan api semangat dalam dirinya. Guru seharusnya tak memberi label ‘si bodoh’, ‘si pembuat onar’ dan hal-hal sejenisnya kepada murid. Perlunya memahami karakteristik setiap siswa adalah esensi dari mengajar dan mendidik. Sehingga guru tak asal memberi cap negatif. Pembelajaran bukanlah sesuatu yang berfokus pada pencapaian kognitif semata, melainkan nilai-nilai-nilai lain yang justru saat ini sangat dibutuhkan.
2). Silent and Brilliant: Diam bukan berarti lemah. Lyla, seorang anak yang sangat cerdas namun jarang mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Ia terlihat sangat pemalu, tenang, dan tak menunjukkan banyak gerakan atau ekspresi seperti yang seharusnya dilakukan kebanyakan anak-anak seusianya. Bagi siapa saja yang membaca cerita ini, mungkin akan mengkhawatirkan tentang bagaimana Lyla dapat mengungkapkan perasaannya. Dalam cerita ini, mas Anggo sebagai guru berhasil memancing kepercayaan diri Lyla untuk berani berbicara. Melalui metode pembelajaran yang berbeda, mas Anggo mencoba menyampaikan pesan bahwa cara belajar tidak harus melulu soal menghafal, diskusi, presentasi, dan cara-cara klasik lainnya. Namun dapat dimodifikasi dalam bentuk permainan. Menciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar dapat mendorong siswa untuk lebih termotivasi.
3). Mamah, Papah, Kalian di mana? : Rafa, seorang pemuda yang mencoba menutupi lukanya dengan sikap yang tenang. Dia adalah murid yang rajin dan kritis. Namun lambat laun ia mulai berubah semenjak mengenal pergaulan yang lebih luas lagi. Terkadang ia membolos, terlambat masuk kelas, atau tidak mengerjakan tugas. Belakangan bahkan ia telah mengenal dunia malam. Rafa berubah karena kurangnya kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sibuknya pekerjaan orang tua membuat Rafa besar dengan panduan gawai dan luput dari perhatian yang harusnya ia dapatkan. Jarak yang semakin memisah antara Rafa dan kedua orang tuanya membuat Rafa akhirnya jatuh ke dalam dasar jurang dan terbelit dengan masalah yang berbuntut panjang. Mamah, Papah, seandainya kalian ada. Namun akhirnya masalah dapat perlahan diatasi dengan keterlibatan antara Rafa, Mamahnya, Papahnya, dan juga sekolah. Setiap anak memiliki hak yang sama atas pendidikan. Jika ada persoalan yang menimpa seorang siswa, tidak lantas ia harus ‘dikucilkan dan dibuang’ dari sekolah. Seharusnya sekolah dapat menjadi sarana yang menjembatani antara masalah, siswa, wali murid, dan juga pihak sekolah itu sendiri.
4). The Sisters: Dayu dan Ghea, dua orang kakak-beradik yang karena permasalahan ekonomi dan keadaan orang tua mereka harus berhenti sekolah di kelas 4 SD. Namun mas Anggo dan sekolah mencoba mencari cara agar mereka dapat lulus pada waktu yang diharapkan. Dayu dan Ghea gigih berjuang, sangat kompak, hingga prestasi mereka di sekolah pun sangat cemerlang. Mereka menujukkan pada dunia tentang kekuatan usaha yang tidak pernah berhenti. Keadaan perekonomian keluarga mereka perlahan berubah menjadi lebih baik. Namun beberapa waktu kemudian usaha kedua orang tua Dayu dan Ghea bangkrut. Dayu tak bisa melanjutkan sekolah, sementara Ghea harus menahan lapar demi adik-adiknya yang lain. Meski begitu mereka tidak pasrah dengan keadaan. Mereka selalu berusaha melakukan yang terbaik. Beberapa tahun kemudian, Ghea berhasil menjadi salah satu mahasiswa keguruan di Universitas Pendidikan Indonesia, sementara Dayu, ia berjuang untuk membantu adik-adiknya meraih cita-citanya. Berusaha dengan keras dan tidak mudah patah adalah sebuah kunci mencapai cita-cita. Terbanglah nak! Terbang yang tinggi! Kepakan sayapmu! Jangan pedulikan orang yang mencibirmu! Terbanglah nak! Dengan begitu, mimpimu akan segera menjadi nyata.
5). Jangan Remehkan Aku: Miki, seorang pemuda berperawakan hampir sempurna yang selalu kelihatan lesu. Ia terlihat loyo saat belajar dan cenderung menghindar saat pertanyaan mengincar. Ia adalah korban dari kegagalan sistem pendidikan formal. Ia terpaksa harus diasingkan dari sekolah karena nilai yang dihasilkannya cukup menyedihkan. Semua orang mengira Miki bodoh, padahal ia hanya membutuhkan tantangan dalam proses belajar. “Miki tidak bodoh, Miki hanya perlu membuktikannya. Melawan banyak mata yang pernah meremehkannya kala itu.” Mas Anggo memancing semangat Miki. Perlahan-lahan ia mulai berubah dan menjadi anak yang lebih menikmati aktivitas belajar di kelas. Miki adalah salah satu anak yang memiliki kecerdasan istimewa. Ia hanya perlu tantangan dan pemahaman, bukan paksaan. Sebagai pengajar tak selaiknya memberikan label tak mengenakkan pada siswa yang dapat meruntuhkan semangat belajarnya. Guru perlu memahami karakteristik muridnya, menjadi kawannya, membangun hubungan yang gemilang, bukan hanya label guru dan murid. Dengan begitu, murid akan percaya dengan apa yang gurunya katakan. Beri motivasi yang bukan hanya sekadar kata-kata, tapi pertanggungjawaban untuk memberi contoh perilaku yang nyata. Setiap anak adalah unik dan memiliki keistimewaannya masing-masing dalam metode belajar. Bangun metode belajar yang menarik, jangan memberikan paksaan apalagi label negatif kepada murid.
6). Aku Juga Seorang Perempuan: Firza, seorang perempuan dengan penampilan eksentrik dan segudang bakat yang dimilikinya. Selain prestasi di bidang pendidikan, ia juga berprestasi di bidang musik. Namun sayang, orang-orang yang tidak mengenalnya tak jarang melontarkan cacian. Firza tidak memiliki tempat di sekolah formal, ia dipaksa harus memilih salah satu antara sekolah saja atau bermusik saja. Akhirnya ia memilih bersekolah di sekolah nonformal yang membuatnya bisa tetap melanjutkan kegiatan bermusiknya sekaligus mengenyam pendidikan. Firza menghabiskan waktu di sekolahnya dengan sangat baik, meski ia sibuk namun ia tetap mengutamakan sekolahnya. Namun, kemudian Firza masuk ke titik terbawahnya. Ia merasakan cinta pada makhluk sejenisnya. Tetapi bukanlah cinta yang menyebabkan Firza terluka, melainkan pola asuh yang kurang tepat dari ibunya yang keras kepala. Jauh di lubuk hati Firza, sebenarnya ia membutuhkan kasih sayang dari ibunya. Firza sering tak masuk sekolah, bahkan ia mulai merokok. Mas Anggo mencoba merangkul Firza dan membantu Firza. Akhirnya sekolah membantu untuk mendiskusikan masalah Firza dengan ibundanya. Guru-guru juga berjuang untuk mengembalikan semangat belajar Firza serta pergaulannya. Firza mengejar ketertinggalan materinya, dan diakhir masa sekolah, Firza mempersembahkan sebuah lagu untuk semua orang di sekolah, dan untuk pertama kalinya semua melihat Firza mengenakan rok dengan busana kebaya modern serta make up yang mempercantik dirinya. Berbeda bukanlah suatu masalah, Firza mengubahnya menjadi karya. Menginspirasi kawan-kawan sebayanya bersama lantunan lagunya.
7). Si Pemarah yang Baik Hati: Maria yang karena jauhnya jarak dengan ayah dan keterbatasan komunikasi yang dilaluinya, menjadi gadis yang cukup sensitif dan rentan terpapar kecemasan. Kadang ia terlihat tidak mood saat sedang belajar. Tak jarang guru-guru yang mengajar jadi sasaran ketidakramahannya. Mas Anggo sebagai gurunya, menyadari suatu hal, bahwa Maria butuh teman. Akhirnya mas Anggo membangun keakraban dan suasana belajar yang menyenangkan hinga Maria pun bisa menceritakan isi hatinya. Maria bercerita tentang guru ekonominya yang menarik hati. Namun suatu hari Maria mogok belajar karena kecewa dengan guru yang menawan hatinya tersebut. Minggu berikutnya Maria meminta untuk mengganti guru ekonominya. Suasana hati Maria menjadi muram, dari situ mas Anggo menyadari sebuah pelajaran berharga. Bahwa mengubah pola pembelajaran saja tidaklah cukup. Dibutuhkan usaha untuk mengatasi akar dari permasalahannya. Kemudian tim guru mencoba untuk berdiskusi dan mencari jalan keluar. Dukungan dan motivasi terus diberikan sampai Maria berhasil melewati tahap Ujian Nasional. Diakhir studinya, Maria mengukir prestasi gemilang. Ia diterima di universitas terbaik di Yogyakarta. Meski emosi Maria tampak sulit dipahami, namun sesungguhnya ia tidak pernah berhenti memberikan kasih sayangnya (meski caranya sulit dimengerti). Healing by time. Ada sebuah luka yang akan sembuh seiring berjalannya waktu. Akan tetapi untuk mempercepatnya diperlukan usaha untuk mengembalikan kepercayaannya. Menciptakan lingkungan yang baik akan mempercepat proses penyembuhan lukanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar